Lompat ke isi

Pertempuran Perlintasan Ciater

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pertempuran Perlintasan Ciater
Bagian dari Pertempuran Jawa dalam kampanye Hindia Belanda

Sebuah benteng pengintai Belanda di perlintasan Ciater
Tanggal5–7 Maret 1942
LokasiPerlintasan Ciater, Jawa Barat
Hasil

Kemenangan Jepang

  • Hindia Belanda menyerah
Pihak terlibat

Belanda Belanda

 Britania Raya
 Jepang
Tokoh dan pemimpin
Belanda Jacob Pesman Menyerah
Belanda W.J. de Veer 
Kekaisaran Jepang Toshinari Shōji
Kekuatan
9.000
27 pesawat
3.000
39 pesawat

Pertempuran Perlintasan Ciater (atau Tjiater) adalah sebuah pertempuran yang berlangsung dari 5 hingga 7 Maret 1942 sebagai bagian dari kampanye Hindia Belanda antara pasukan invasi Jepang melawan pasukan kolonial Belanda yang didukung oleh pesawat-pesawat tempur dari Angkatan Udara Britania Raya. Pertempuran ini memperebutkan Perlintasan Ciater yang memiliki peranan strategis dalam upaya pertahanan kota Bandung.

Setelah pasukan Jepang mendarat di Pulau Jawa dan merebut Lapangan Udara Kalijati, tentara Belanda mundur dari kota Batavia (kini Jakarta) dan Buitenzorg (Bogor). Mereka juga mempersiapkan garis pertahanan di perlintasan gunung menuju Bandung guna menunda pasukan Jepang hingga satuan-satuan tentara Belanda yang mundur beserta sekutu Australia dapat bergabung. Tentara Jepang yang dipimpin Kolonel Toshinari Shōji memutuskan untuk menyerbu garis tersebut untuk mencegah serangan balik, saat tentara Belanda masih terpencar.

Berkat dukungan angkatan udara dan kualitas prajurit yang lebih baik, Jepang berhasil merebut titik-titik pertahanan Belanda yang kekurangan personil setelah tiga hari pertempuran, dan jalan mereka ke Bandung terbuka lebar seusai jatuhnya Lembang. Sebelum pertempuran sempat berkecamuk di Bandung, Pemerintah Hindia Belanda menyerah terlebih dahulu sehingga mengakhiri kekuasaan Belanda di Indonesia.

Latar belakang

Belanda menyatakan perang melawan Jepang pada tanggal 8 Desember 1941, satu hari setelah Pengeboman Pearl Harbor. Sepanjang tahun 1942, Jepang melancarkan kampanye militer dan merebut Malaya serta Filipina, dengan tujuan akhir untuk merebut Hindia Belanda (Indonesia) beserta sumber daya alam yang melimpah (seperti minyak bumi, karet, dan timah). Pada Januari 1942, tentara Jepang mulai berperang di Hindia Belanda, dan pada tanggal 14 Februari 1942 Jepang sudah mendarat di Palembang dan Bangka. Seusai jatuhnya Palembang, Bali, dan Timor, Pulau Jawa terputus dari bala bantuan Sekutu. Melihat situasi medan perang pada saat itu, Komandan Pasukan Gabungan ABDACOM (Amerika Serikat, Britania, Belanda, dan Australia) Archibald Wavell memutuskan bahwa Pulau Jawa tidak dapat dipertahankan lagi dan ia memindahkan markas besarnya ke India. Wewenang untuk mempertahankan Jawa pun jatuh ke tentara Belanda dibawah Hein ter Poorten.[1]

Sementara itu, Angkatan Darat ke-16 Jepang ditugaskan untuk merebut Jawa, dan terdiri dari divisi ke-2, 38, dan 48.[2] Pasukan Jepang mendarat di tiga titik di Pulau Jawa seusai kemenangan atas angkatan laut di Pertempuran Laut Jawa. Detasemen Shoji (bagian dari Divisi ke-38)[3] yang dipimpin Kolonel Toshinari Shōji mendarat di Eretan Wetan, Indramayu, pada subuh tanggal 1 Maret 1942.[4] Detasemen itu dengan cepat merebut Lapangan Udara Kalijati dan wilayah sekitarnya di Subang,[4] sehingga Divisi 3 AU Jepang dibawah Mayjen Endō Saburō dapat memberikan dukungan udara dari dekat.[5] Tentara Belanda melancarkan dua kali serangan balik untuk mencoba merebut kembali Kalijati, tetapi keduanya gagal. Jepang pun berhasil memenangkan Pertempuran Kalijati.[6][7]

Kekuatan tempur Sekutu di Jawa terkuras oleh kedua serangan tersebut. Satuan "West Group" (satu resimen infanteri KNIL dan brigade "Blackforce" Australia) diperintahkan untuk mundur dari Batavia dan Buitenzorg menuju Bandung,[8] sementara Batavia sendiri dinyatakan sebagai "kota terbuka" untuk mencegah kehancuran kota tersebut dalam pertempuran.[9] Satuan KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda) lainnya, "Bandung Group", ditugaskan untuk mempertahankan dataran tinggi Bandung sampai West Group tiba, dengan harapan bahwa kedua satuan dapat disatukan untuk menahan serangan Jepang.[10] Bandung Group dipimpin oleh Mayjen Jacob Pesman.[11] Rencana Belanda sendiri adalah bertahan di Jawa Barat dan menjadikan daerah Bandung dan sekitarnya yang dikelilingi pegunungan sebuah "benteng"; dari tempat tersebut mereka berharap dapat melancarkan serangan-serangan balik.[12] Sementara itu, dari posisi Jepang di daerah Subang, ada dua jalan menuju Bandung: melalui Purwakarta atau melalui jalan-jalan Perlintasan Ciater yang kurang bagus di kaki Gunung Tangkuban Parahu.[13]

Kekuatan

Pergerakan Detasemen Shoji dari Eretanwetan menuju ke arah Bandung

Terdapat 9.000 prajurit yang berada di bawah pimpinan Jacob Pesman, termasuk 5.900 orang dari komando awalnya, dan sisanya berasal dari resimen infanteri 2 KNIL dan satu batalion tambahan. Namun, mereka terpencar karena harus mempertahankan beberapa titik sekaligus. Resimen Infanteri 2 (yang turut dalam serangan balik yang gagal) juga sudah tidak efektif dalam pertempuran.[11] Dalam hal angkatan udara, KNIL dapat menggunakan 27 pesawat.[11] West Group diperkirakan tiba antara tanggal 6 dan 7 Maret dan akan siap tempur pada tanggal 10, tetapi sebelumnya Bandung Group harus mengisi celah dalam pertahanan Bandung.[14] Belanda telah membangun pertahanan di jalur-jalur menuju Bandung,[10] dan Kolonel W.J. de Veer memimpin prajurit yang mempertahankan Ciater.[15]

Tentara ke-16 Jepang awalnya hanya menugaskan Detasemen Shoji untuk menjaga titik-titik yang telah mereka rebut di sekitar Kalijati dan jembatan-jembatan yang melintasi Sungai Citarum sembari menunggu bala bantuan datang dari barat.[16][17] Namun, Shōji memutuskan untuk langsung menyerang Bandung melalui Ciater sebelum Belanda dapat melancarkan serangan balik dan untuk mencegah serangan udara terus-terusan terhadap AU Jepang di Kalijati.[10] Meskipun atasannya khawatir ia dapat tersangkut di Ciater, rencana Shōji diamini.[18] Terdapat sekitar 3.000 tentara dalam Detasemen Shoji, dan mereka secara umum lebih berpengalaman dan lebih terlatih dari tentara KNIL. Di antara detasemen ini, 2.000-2.400 akan turut serta dalam pertempuran. AU Jepang yang tersedia dalam pertempuran sejumlah 39 pesawat.[11]

Garis pertahanan di ujung utara Ciater terletak di samping jurang dan dirancang untuk satu resimen, dan terdiri dari parit pertahanan, dua garis kasemat, dan kawat berduri yang semuanya sepanjang 2 kilometer. Saat pertempuran pecah, pertahanan tersebut hanya berisi satu batalion yang didukung sejumlah satuan kecil. Garis pertahanan paling depan hanya dipertahankan satu kompi infanteri. Di ujung selatan terdapat garis pertahanan lain, yang belum selesai dibangun karena kurang pekerja.[19]

Jalannya pertempuran

Tentara Jepang di Ciater dipimpin Kolonel Toshinari Shōji
Jacob Pesman merupakan panglima KNIL di wilayah Bandung

Pada pagi hari tanggal 4 Maret, kedua belah pihak melancarkan serangan udara. Pesawat Belanda dan Britania Raya (Royal Air Force) melakukan serangan terhadap Kalijati, sementara pesawat Jepang menyasar posisi terdepan pertahanan Belanda dan Pangkalan Udara Andir.[20] Serangan udara Jepang memaksa serdadu Belanda yang diposisikan terdepan untuk mundur kembali ke arah Lembang.[21] Serangan udara terus berlanjut sepanjang hari.[22]

Pertempuran di darat baru mulai tanggal 5 Maret, ketika tank Jepang mencapai garis depan Belanda di Perlintasan Ciater, yang termasuk sejumlah benteng pengintai (pillbox) dan sepucuk meriam 50mm. Serdadu Belanda hanya didukung empat pucuk artileri di belakang pertahanan, dan artileri Belanda tidak banyak membantu dalam pertempuran.[23] Dedaunan yang lebat juga menghalangi sudut tembak dari benteng pengintai yang ada.[24] Setelah pertempuran selama kurang lebih tiga jam, serdadu Jepang hampir mencapai posisi tentara Belanda. Akibatnya, sekitar 50 serdadu Belanda yang berada di garis terdepan ditarik mundur seusai menghancurkan meriam dan jembatan yang melintasi jurang di depan mereka.[25] Tembakan mortir dan senapan mesin dari garis utama kemudian berbunyi, menyebabkan banyak korban jatuh di pihak Jepang sebelum mereka membalas dengan mortir mereka sendiri.[25] Dalam setengah jam saja, sejumlah serdadu Jepang berhasil menyusupi titik-titik yang kosong di garis pertama dan memaksa serdadu Belanda untuk mundur ke garis kedua sejauh 500 meter agar tidak terkepung. Dalam proses mundur, tentara-tentara Belanda kehilangan banyak lampu sorot dan radio mereka.[26] Pada pukul 4 sore, tentara Jepang telah sepenuhnya merebut garis pertama dan kini mulai menembaki posisi-posisi Belanda di hadapan mereka.[27]

Setelah menerima laporan mengenai serangan Jepang, Mayjen Pesman memindahkan pasukan cadangannya ke medan pertempuran.[28] Namun, bala bantuan ini tertunda karena macet di jalan yang sempit menuju ke Ciater.[29] Sekitar pukul 6, pasukan tambahan mereka sudah hampir tiba, tetapi terhalang oleh sejumlah serdadu Jepang yang berhasil menyusup ke belakang garis kedua.[30] Selagi bala bantuan mulai tiba, tentara Belanda di garis kedua ditarik mundur kembali ke garis pertahanan yang baru pada subuh keesokan harinya.[31] Ada sekitar 950 prajurit Belanda di garis pertahanan yang baru,[32] dan di belakang lagi ada 400 prajurit yang menjaga garis pertahanan yang belum selesai dibangun.[33] Sepanjang tanggal 5 Maret, tentara Jepang telah merebut lima benteng pengintai.[24]

Awalnya, komandan-komandan Jepang mengira ada 3.000 serdadu Belanda di hadapan mereka, tetapi mereka baru menyadari jumlah sesungguhnya setelah menginterogasi seorang tawanan.[34] Tentara Jepang sendiri berjumlah 1.000 orang di Ciater pada tanggal 6 Maret, dengan keunggulan dari segi mortir dan tank.[32] AU Jepang juga menjatuhkan ratusan bom ke posisi-posisi Belanda di Ciater, sehingga menghancurkan kendaraan-kendaraan Belanda dan menjatuhkan moril mereka.[35] Pada pukul 5:30 pagi, Jepang melancarkan serangan di sisi barat pertahanan Belanda. Serangan pertama mereka gagal, begitu pula serangan kedua yang disertai bantuan udara, tetapi serangan ketiga mereka yang didukung tiga tank dan tembakan mortir berhasil menerobos dua kompi infanteri Belanda yang bertahan di sana.[36] Antara 30 hingga 50 korban jatuh di pihak Belanda dari kedua kompi tersebut, dan Jepang juga membantai 75 tahanan perang.[37] Pada siang harinya, sejumlah pasukan patroli Jepang sudah beradu tembak dengan serdadu-serdadu yang berada di garis terakhir.[38] Pada sore harinya, posisi belakang tersebut telah terkepung, tetapi sebuah serangan balik Belanda memukul mundur tentara Jepang dan memungkinkan prajurit-prajurit Belanda untuk mundur ke arah Lembang. Dalam serangan balik tersebut, Kolonel de Veer terbunuh.[39]

Pertempuran pada tanggal 7 Maret sebagian besar mencakup operasi pembersihan Jepang melawan sisa-sisa prajurit Belanda yang tidak sempat mundur.[40] Jepang juga terus maju ke arah Lembang, dan setelah sejumlah pertempuran dan baku tembak, serdadu Belanda di Lembang kembali mundur ke Bandung.[41]

Kelanjutan

Setelah Ciater jatuh ke tangan Jepang, posisi pasukan sekutu di Jawa Barat tidak dapat dipertahankan lagi.[17] Pada malam tanggal 7 Maret, Lembang juga jatuh ke tangan Jepang, dan Belanda mengirim seorang pembawa pesan dengan bendera putih.[42][43] Awalnya Belanda hanya ingin menyerah di wilayah Bandung. Namun, dalam negosiasi keesokan harinya di Kalijati, panglima Tentara ke-16 Hitoshi Imamura meminta keseluruhan Hindia Belanda beserta pasukan sekutu di Jawa untuk menyerah. Gubernur-Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Komandan KNIL Hein ter Poorten pada mulanya menolak.[44]

Pada saat itu, West Group telah tiba di Bandung dengan niat untuk mengobarkan perang gerilya melawan Jepang, tetapi mereka mengurungkan niat mereka setelah menyadari bahwa kondisi tidak memungkinkan; Hindia Belanda terlalu besar untuk perang gerilya dengan pasukan yang tersedia, dan jumlah orang Indonesia atau Tionghoa yang berpihak kepada Belanda tidak memadai.[42][45] Surabaya pun telah direbut oleh Jepang pada tanggal 8, dan tentara KNIL di Jawa Timur sudah mengibarkan bendera putih pada hari itu juga (meskipun secara resmi mereka baru menyerah keesokan harinya).[46] Akibat kemungkinan pecahnya pertempuran di Bandung yang penuh pengungsi sipil,[47] pemerintah Hindia Belanda mengumumkan penyerahan mereka tengah hari tanggal 9 Maret. Kurang dari tiga jam kemudian, Perjanjian Kalijati ditandatangani dan mengakhiri kekuasaan Belanda di Indonesia.[48]

Referensi

  1. ^ Boer 2011, hlm. xix-xxii.
  2. ^ OCMH 1958, hlm. 1.
  3. ^ OCMH 1958, hlm. 15.
  4. ^ a b OCMH 1958, hlm. 26.
  5. ^ Remmelink 2015, hlm. 189.
  6. ^ de Jong 1985, hlm. 1018-1020.
  7. ^ Boer 2011, hlm. 365.
  8. ^ Boer 2011, hlm. 369-370.
  9. ^ Ring, Watson & Schellinger 2012, hlm. 398.
  10. ^ a b c Boer 2011, hlm. 367.
  11. ^ a b c d Boer 2011, hlm. 368.
  12. ^ Boer 2011, hlm. 509.
  13. ^ de Jong 1985, hlm. 1017.
  14. ^ Boer 2011, hlm. 393-394.
  15. ^ Boer 2011, hlm. 417.
  16. ^ OCMH 1958, hlm. 28.
  17. ^ a b Boer 2011, hlm. 369.
  18. ^ Boer 2011, hlm. 395.
  19. ^ Boer 2011, hlm. 404-407.
  20. ^ Boer 2011, hlm. 373-382.
  21. ^ Boer 2011, hlm. 382-386.
  22. ^ Boer 2011, hlm. 390-392.
  23. ^ Boer 2011, hlm. 409.
  24. ^ a b Remmelink 2015, hlm. 522.
  25. ^ a b Boer 2011, hlm. 410.
  26. ^ Boer 2011, hlm. 411.
  27. ^ Boer 2011, hlm. 413-414.
  28. ^ Boer 2011, hlm. 416-417.
  29. ^ Boer 2011, hlm. 418.
  30. ^ Boer 2011, hlm. 420.
  31. ^ Boer 2011, hlm. 423.
  32. ^ a b Boer 2011, hlm. 434.
  33. ^ Boer 2011, hlm. 435.
  34. ^ Remmelink 2015, hlm. 524.
  35. ^ Boer 2011, hlm. 440.
  36. ^ Boer 2011, hlm. 443-445.
  37. ^ Boer 2011, hlm. 446-447.
  38. ^ Boer 2011, hlm. 449.
  39. ^ Boer 2011, hlm. 467-468.
  40. ^ Remmelink 2015, hlm. 526.
  41. ^ Boer 2011, hlm. 479.
  42. ^ a b Boer 2011, hlm. 484-485.
  43. ^ Remmelink 2015, hlm. 528.
  44. ^ Remmelink 2015, hlm. 529-533.
  45. ^ De Jong 1985, hlm. 1053.
  46. ^ OCMH 1958, hlm. 15-16.
  47. ^ Boer 2011, hlm. 425.
  48. ^ Remmelink 2015, hlm. 534-535.

Daftar pustaka